Film-film mengenai kebebasan beragama atau berkeyakinan
Kumpulan 8 film ini akan membantu Anda untuk memahami apa yang tercakup dalam kebebasan beragama atau berkeyakinan, dan kapan hal itu mungkin dibatasi
Film adalah cara yang handal untuk belajar dan berbagi pengetahuan. Film-film singkat kami yang berupa penjelasan, ideal bagi pembelajran pribadi, pelatihan staff atau group secara daring. Atau bisa juga mengumpulkan peserta dalam ruang kelas untuk menonton film sebelum pelatihan diadakan. Kemudian peserta datang ke pelatihan yang telah disediakan secara luring.
1. Pengantar kebebasan beragama atau berkeyakinan (Bahasa Indonesia)
Ini adalah yang pertama dari 8 presentasi yang menguraikan hak asasi manusia dalam hal kebebasan berpikir, menyuarakan hati nurani, beragama atau berkepercayaan, serta apakah dan kapankah hak-hak ini boleh dibatasi. Dalam pengantar singkat ini, kita akan mulai berpikir mengenai siapa atau apa yang dilindungi oleh hak asasi manusia, dan hak-hak apa saja yang diberikan KBB (KBB).
Saya ingin memulai dengan mengajukan pertanyaan. Agama apa saja yang dilindungi oleh KBB? Apakah yang dilindungi itu hanya agama-agama besar dunia atau juga agama-agama kecil yang tidak biasa? Apakah ia melindungi semua agama dan segala macam kepercayaan?
Pertanyaan-pertanyaan itu sebenarnya adalah jebakan. Saya bertanya mengenai agama apa yang dilindungi. Orang sering berasumsi bahwa KBB melindungi agama dan kepercayaan. Sesungguhnya tidaklah demikian! Seperti halnya semua hak asasi manusia lainnya, KBB melindungi orang (beragama/berkepercayaan), bukan agama atau kepercayaan itu sendiri.
KBB melindungi orang-orang yang mengidentifikasi diri mereka dengan agama tertentu, meyakini atau mempraktikkan agama-agama lama, agama-agama baru, agama-agama yang dalam sejarahnya telah lama dipeluk banyak orang di suatu negara, maupun agama-agama lainnya. KBB juga melindungi orang-orang dengan kepercayaan non-agama terkait pertanyaan-pertanyaan fundamental, seperti orang-orang ateis, humanis, dan pasifis, di mana pun mereka tinggal.
KBB bahkan melindungi orang-orang yang tidak peduli dengan agama atau kepercayaan sama sekali.
Dalam kalimat lain, KBB melindungi semua orang! Nah, perlindungan atau hak apa saja yang kita miliki dari KBB?
Untuk mengetahuinya, kita perlu melihat deklarasi-deklarasi dan konvensi-konvensi internasional tentang hak asasi manusia. Dua yang paling penting adalah:
Pasal 18 Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia PBB dan
Pasal 18 Kovenan Internasional PBB tentang Hak-Hak Sipil dan Politik.
Sementara deklarasi PBB menyatakan adanya kehendak politik, pakta dan kovenan PBB berlaku mengikat secara hukum. Mari kita melihat teks Kovenan tentang Hak-Hak Sipil dan Politik.
Pasal 18
1. Setiap orang berhak atas kebebasan berpikir, berkepercayaan (kesadaran hati nurani) dan beragama. Hak ini mencakup kebebasan untuk menetapkan agama atau kepercayaan atas pilihan sendiri, dan kebebasan, baik secara sendiri maupun bersama-sama dengan orang lain, baik di tempat umum atau tertutup, untuk menjalankan agama atau kepercayaannya dalam kegiatan ibadah, pentaatan, pengamalan, dan pengajaran.
2. Tidak seorang pun dapat dipaksa sehingga terganggu kebebasannya untuk menganut atau menetapkan agama atau kepercayaannya sesuai dengan pilihannya.
3. Kebebasan menjalankan dan menentukan agama atau kepercayaan seseorang hanya dapat dibatasi oleh ketentuan berdasarkan hukum, dan yang diperlukan untuk melindungi keselamatan, ketertiban, kesehatan, atau moral masyarakat, atau hak-hak dan kebebasan mendasar orang lain.
4. Negara Pihak dalam Kovenan ini berjanji untuk menghormati kebebasan orang tua dan, apabila diakui, wali hukum yang sah untuk memastikan bahwa pendidikan agama dan moral bagi anak-anak mereka sesuai dengan kepercayaan mereka sendiri.
Jadi, apa arti kebebasan ini dalam praktiknya? Bagi orang-orang yang dilindungi—hak-hak apa saja yang mereka miliki? Saya ingin memperkenalkan tujuh topik yang menyoroti hak-hak yang diberikan oleh hukum internasional sehubungan dengan agama dan kepercayaan:
Dua yang pertama merupakan inti dari KBB:
· Kebebasan untuk memiliki, memilih, mengubah, atau meninggalkan agama atau kepercayaan dan
· kebebasan untuk mempraktikkan atau memanifestasikan agama atau kepercayaan
· Di atas semua ini kita memiliki hak untuk mendapat perlindungan dari paksaan dan
· perlindungan dari diskriminasi atas dasar agama atau kepercayaan,
· hak bagi orang tua dan anak-anak menyangkut agama dan kepercayaan
· dan hak atas keberatan berdasarkan kesadaran hati nurani (conscientious objections).
Unsur kunci lain dari KBB adalah aturan tentang apakah dan kapankah hak-hak yang diberikan itu boleh dibatasi.
Di situs web, Anda akan menemukan film yang membahas masing-masing topik ini, dengan tinjauan mendalam tentang apa makna hak-hak itu dalam praktik.
End of Transcript
2. Hak untuk memiliki atau mengubah agama atau keyakinan (Bahasa Indonesia)
Dimensi inti pertama dari KBB adalah hak untuk memiliki, mempertahankan, mengubah, atau meninggalkan agama atau kepercayaan. Hak ini menyangkut kepercayaan pribadi dan disebut sebagai dimensi internal (atau forum internum) KBB. Hak untuk memiliki atau mengubah agama atau kepercayaan adalah hak mutlak—yang berarti bahwa, menurut hukum internasional, hak ini tidak boleh dibatasi. Apakah Anda seorang Kristen, Muslim, Bahai, Yazidi atau ateis; apakah Anda tinggal di Singapura, Swedia atau Sudan; apakah Anda ada dalam situasi damai atau perang; terlepas dari apa yang dikatakan para pemimpin agama atau politik—Anda dan setiap orang memiliki hak untuk mempertahankan dan merawat kepercayaan Anda, untuk mengubahnya, juga untuk menjadi tidak beragama.
Tentu saja, banyak orang yang tak menikmati hak mutlak ini, dan mereka dihukum atau disakiti, karena agama atau kepercayaan mereka, oleh pemerintah, anggota keluarga, atau oleh kelompok di komunitas mereka.
Sejumlah pemerintah melarang agama atau kepercayaan tertentu. Falun gong, satu bentuk kepercayaan dan praktik Buddhis, dilarang di Tiongkok. Para praktisi Falun gong dipenjara, disiksa, dipaksa kerja dan dipaksa mendapat pendidikan ulang dengan tujuan agar mereka meninggalkan kepercayaan mereka.
Di Eritrea hanya ada empat agama yang diakui negara, dan orang-orang yang termasuk dalam agama yang tidak diakui, seperti Kristen Pentakosta dan Saksi Yehuwa, dihukum berat dengan beragam cara.
Contoh pelanggaran yang lebih halus terhadap hak untuk beragama atau berkepercayaan adalah kejahatan kebencian di mana korban menjadi sasaran kekerasan karena identitas agama atau kepercayaan mereka. Mereka diserang karena memiliki agama atau kepercayaan tertentu.
Di Prancis, kejahatan kebencian seperti penyerangan, pelecehan, atau perbuatan kriminal terhadap Muslim meningkat 250% pada tahun 2015, dengan 336 peristiwa tercatat. Dan tingkat kejahatan kebencian terhadap komunitas Yahudi tetap tinggi, dengan 715 kejahatan kebencian dilaporkan.
Di beberapa bagian pedesaan di Meksiko, orang-orang Kristen Protestan menjadi sasaran kekerasan atau diusir dari tanah mereka oleh para pemimpin masyarakat yang berkeinginan menjaga keberagamaan Kristen Katolik tradisional.
Di banyak negara, identitas agama, identitas nasional, dan identitas negara saling terkait erat. Dalam kondisi seperti ini, agama minoritas dan orang-orang yang meninggalkan agama mayoritas, termasuk ateis, dapat dipandang sebagai orang yang tidak setia kepada bangsa atau bahkan dianggap sebagai ancaman terhadap keamanan nasional.
Hak mutlak untuk meninggalkan agama atau kepercayaan sering kali diabaikan.
Indonesia memiliki undang-undang dasar dan hukum yang melindungi kebebasan beragama, namun ia hanya melindungi orang-orang dengan agama tertentu: Islam, Kristen Katolik dan Protestan, Hindu, Buddha, dan Konghucu. Ateisme tidak dilindungi. Pada usia 30, Alex Aan yang memiliki latar belakang Muslim menjalani hukuman penjara 2,5 tahun dan menghadapi denda seratus juta rupiah, karena menulis ”Tuhan itu tidak ada” dan membuat laman ateis di Facebook.
Aan didakwa menyebarkan informasi yang ditujukan untuk kebencian atau permusuhan terhadap agama, karena telah menyebarkan pesan yang dianggap menghujat agama di internet dan menyeru orang untuk menjadi ateis. Aan dipukuli oleh orang-orang yang marah dan ditolak oleh komunitasnya, meskipun ia telah memposting permintaan maaf secara publik di laman Facebook-nya.
Di Iran, orang yang keluar dari Islam lalu memeluk Kristen bisa mendapat hukuman berat, terutama jika mereka mengikuti gereja yang tidak terdaftar. Pada Juli 2017 empat orang yang berpindah agama dihukum 10 tahun penjara dengan dakwaan “bertindak melawan keamanan nasional.” Tiga dari mereka sebelumnya telah dijatuhi hukuman 80 cambukan karena minum anggur komuni, karena pemerintah saat itu masih menganggap mereka Muslim, dan minum alkohol adalah ilegal bagi Muslim di Iran.
Sering kali para pemimpin politik dan agama menggunakan tafsir mereka atas teks-teks suci atau tradisi hukum agama untuk membenarkan larangan dan hukuman karena meninggalkan agama mayoritas, atau karena menjadi bagian dari kelompok-kelompok tertentu. Hukuman dapat mencakup hukuman mati, hukuman penjara, kehilangan pekerjaan atau pembatalan pernikahan, dan kehilangan hak asuh anak. Sejumlah negara dengan mayoritas Muslim termasuk Arab Saudi dan Pakistan mempunyai hukum yang membatasi hak untuk meninggalkan Islam. Namun demikian, sebenarnya masalah ini bukannya tak bisa dihindari. Sebagai contoh, di Sierra Leone, sekitar 70% dari populasinya adalah Muslim, sementara Kristen 20%. Agama sangat hadir di ruang publik di Sierra Leone, tetapi ia tidak dipolitisasi, dan konversi dari Muslim ke Kristen dan sebaliknya merupakan hal yang biasa.
Masalah-masalah semacam itu tidak terbatas pada negara-negara dengan mayoritas Muslim. Di beberapa bagian Republik Afrika Tengah, kelompok yang disebut milisi Anti-Balaka menggunakan ancaman pembunuhan untuk memaksa minoritas Muslim menjadi Kristen.
Beberapa negara bagian di India memiliki undang-undang yang membatasi hak untuk mengubah agama, misalnya mengharuskan orang yang pindah agama untuk meminta izin dari lembaga pemerintah.
Dan pemerintah bukan satu-satunya pihak yang melanggar KBB. Di India kekerasan pernah pecah, di mana kelompok nasionalis Hindu menyerang komunitas Kristen dan Muslim, kadang-kadang juga melibatkan konversi di bawah ancaman kekerasan. Dalam beberapa kasus, orang-orang yang kehilangan tempat tinggal akibat kekerasan diharuskan pindah agama sebelum diizinkan kembali ke rumah mereka.
Orang-orang beragama juga bukan satu-satunya yang menghadapi masalah. Orang-orang yang mengkritik ide-ide agama atau hubungan antara agama dan negara bisa menghadapi bahaya besar. Dalam beberapa tahun terakhir, beberapa blogger di Bangladesh dibunuh oleh kelompok-kelompok ekstremis karena mengkritik gagasan dan praktik keagamaan dan negara. Sayangnya, upaya pemerintah Bangladesh untuk menghentikan kelompok-kelompok ekstremis yang kejam ini belum berhasil. Ada juga negara yang tidak mengutuk serangan terhadap orang-orang yang mengkritik agama. Kebungkaman ini mengirimkan pesan bahwa kekerasan dapat dibenarkan dan diterima.
Kebebasan untuk mengubah agama atau kepercayaan sangat kontroversial di tingkat internasional. Pada kenyataannya, setiap kali negara-negara anggota Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) menyetujui satu konvensi atau deklarasi baru, hak untuk mengubah agama lebih lemah terekspresikan.
Kendati bahasanya semakin lemah, komite hak asasi manusia PBB, yang bertugas menasihati negara-negara tentang bagaimana menafsirkan kovenan tentang hak-hak sipil dan politik, menyatakan bahwa “kebebasan untuk ’memiliki atau memeluk’ suatu agama atau kepercayaan harus mensyaratkan kebebasan untuk memilih agama atau kepercayaan, termasuk hak untuk mengganti agama atau kepercayaan seseorang saat ini dengan yang lain atau untuk menganut pandangan ateistik, maupun hak untuk mempertahankan agama atau kepercayaan seseorang.”
Ringkasnya, hak untuk memiliki atau mengubah agama atau kepercayaan adalah hak mutlak. Hak ini tidak boleh dibatasi dalam kondisi apapun. Namun, beberapa pemerintahan membatasi hak tersebut, dan telah ada banyak kasus keluarga atau kelompok dalam masyarakat yang menghukum orang dengan pelbagai cara karena memiliki atau mengubah agama atau kepercayaan mereka.
Anda dapat menemukan lebih banyak informasi tentang hak untuk memiliki atau mengubah agama atau kepercayaan, termasuk teks-teks dokumen hak asasi manusia yang membahas topik ini dalam materi pelatihan di situs web.
End of Transcript
2. Hak untuk memiliki atau mengubah agama atau keyakinan
Apakah pemerintah, tokoh agama, atau anggota keluarga dapat membatasi hak Anda untuk memiliki, berganti, atau meninggalkankan agama atau keyakinan Anda? Bagaimana Hak Asasi Manusia internasional mengatur mengenai hak ini, dan bagaimana realitasnya?
3. Hak untuk mempraktikkan agama atau keyakinan (Bahasa Indonesia)
Elemen inti kedua dari KBB adalah kebebasan untuk memanifestasikan kepercayaan dalam pengajaran, praktik ketaatan, dan ibadah. Elemen ini dikenal sebagai dimensi eksternal (forum eksternum) KBB. Berbeda dengan hak untuk memiliki atau mengubah agama atau kepercayaan, hak untuk memanifestasikan tidak mutlak. Dalam keadaan tertentu, ia boleh dibatasi.
Memanifestasikan berarti mengekspresikan iman atau kepercayaan dalam kata-kata dan tindakan. Hukum hak asasi manusia internasional menjamin hak untuk melakukan hal-hal itu secara pribadi atau publik, sendiri atau bersama orang lain.
Anda berhak untuk berdoa secara pribadi dan mengekspresikan agama atau kepercayaan Anda sebagai bagian dari komunitas dalam ibadah dan tradisi kolektif.
Dan komunitas juga memiliki hak—bukan hak komunitas terhadap anggotanya, melainkan hak dalam kaitannya dengan negara. Salah satu yang paling penting adalah bahwa negara harus memastikan komunitas agama dan kepercayaan yang ingin mendapat identitas legal dapat memperolehnya, sehingga mereka dapat memiliki rekening bank, mempekerjakan orang, memiliki gedung sendiri, dan mendirikan lembaga.
Ada banyak ragam cara bagi individu dan kelompok untuk mempraktikkan atau memanifestasikan agama dan kepercayaan. Para pakar di PBB telah memberikan contoh-contoh kegiatan yang dilindungi:
– Datang bersama untuk beribadah, merayakan festival, dan menjalani hari-hari libur
– Mengenakan pakaian keagamaan dan mengikuti aturan khusus terkait makanan/minuman mereka
– Memiliki tempat ibadah, pemakaman, dan menampilkan simbol agama
– Memainkan peran dalam masyarakat, misalnya dengan membentuk organisasi amal
– Mengajarkan dan berbicara tentang agama atau kepercayaan, dan mempersiapkan atau menunjuk pemimpin
– Menulis, menerbitkan, dan menyebarkan literatur tentang kepercayaan Anda
– Berkomunikasi tentang masalah iman di tingkat nasional dan internasional
– Anda juga dapat mengumpulkan sumbangan sukarela.
Di titik ini, Anda mungkin bilang, “keren—inilah macam-macam hak yang saya inginkan bagi komunitas saya!”
Anda mungkin juga khawatir. Bagaimana dengan kelompok yang menindas dan mengontrol anggotanya atau mempromosikan kebencian atau kekerasan terhadap orang lain? Apakah mereka bebas menyebarkan dan mempraktikkan kepercayaan mereka?
Ada dua tanggapan terhadap hal ini:
Pasal 5 Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Sipil dan Politik melarang penggunaan satu hak untuk menghancurkan hak lainnya. Jadi KBB tidak memberikan izin kepada negara, orang, atau kelompok mana pun untuk menindas, menghasut kekerasan, atau melakukan tindakan kekerasan terhadap orang lain.
Tentu saja banyak pemerintah dan kelompok yang menggunakan kekerasan atau represi. Tetapi tidak ada hak bagi mereka untuk melakukannya atas nama kebebasan beragama mereka. Sebaliknya KBB ada untuk melindungi orang-orang yang terkena dampak represi dan kekerasan.
Kedua, meskipun hak untuk memiliki dan memilih kepercayaan tidak boleh dibatasi, hak untuk memanifestasikan atau menjalankan agama atau kepercayaan bisa dibatasi. Tetapi Pasal 18 menetapkan bahwa pembatasan hanya dapat dilakukan ketika empat aturan diikuti:
Pembatasan harus diatur dalam undang-undang, diperlukan untuk melindungi orang lain, tidak diskriminatif, dan sebanding (proporsional) dengan masalah yang ingin ditangani.
Aturan-aturan ini sangat penting. Tanpanya, pemerintah dapat membatasi setiap kelompok atau praktik yang tidak disukainya.
Pembatasan dimaksudkan sebagai jalan terakhir, bukan alat kontrol oleh negara. Sayangnya, banyak pemerintahan mengabaikan aturan ini, dan ada banyak contoh pelanggaran negara atas hak untuk memanifestasikan agama.
Undang-undang yang membatasi terkait pendaftaran pemeluk agama, misalnya, adalah masalah besar. Beberapa pemerintah mensyaratkan pendaftaran agar warganya dapat menikmati hak untuk mempraktikkan agama atau kepercayaan mereka. Ini melanggar hukum internasional. Pendaftaran tidak boleh menjadi prasyarat bagi hak memanifestasikan agama atau kepercayaan. Pendaftaran ada untuk memberikan status legal bagi komunitas yang menginginkannya.
Negara yang melarang manifestasi keagamaan yang tidak terdaftar sering kali juga memiliki undang-undang restriktif yang membatasi kemampuan kelompok keagamaan tertentu untuk mendaftar. Di Kazakhstan, misalnya, kegiatan keagamaan yang tidak terdaftar dilarang, dan banyak kelompok belum berhasil mendaftar. Berbicara tentang agama kepada orang-orang di luar komunitas agama sendiri juga ilegal, dan semua literatur keagamaan harus disensor sebelum digunakan. Hal-hal ini memengaruhi semua komunitas agama.
Pemerintah membatasi praktik keagamaan dengan banyak cara. Pemerintah Vietnam menggunakan titik pemeriksaan guna memblokir umat Buddha Hoa Hao mengakses satu-satunya pagoda mereka. Di Arab Saudi, ibadah non-Muslim di ruang publik dilarang, dan beberapa pekerja migran ditangkap dan dideportasi sehubungan dengan penggerebekan terhadap perkumpulan ibadah. Dan di beberapa wilayah bagian di Cina dan Indonesia, bangunan gereja dihancurkan oleh pihak berwenang.
Dengan menggunakan UU mengenai ekstremisme, Rusia melarang ribuan publikasi, termasuk yang berbicara tentang kepercayaan keagamaan yang damai. Sulit untuk mengetahui apakah suatu teks dilarang atau tidak, tetapi jika seseorang ketahuan menyimpan teks itu, ia dapat didenda, dipenjara, atau kelompok kegamaannya dibubarkan. Ada juga pembatasan terkait kepercayaan agama mana yang bisa disampaikan, di mana, dan oleh siapa.
Di Prancis, beberapa walikota mencoba melarang burkini—pakaian renang yang menutupi seluruh tubuh kecuali wajah—atas dasar ketertiban umum. Undang-undang itu ditolak oleh pengadilan administratif tertinggi, tetapi larangan mengenakan pakaian yang menutupi wajah masih ada. Dan di beberapa negara Eropa, penyembelihan binatang secara Halal dan Kosher dilarang.
Hak untuk memanifestasikan agama juga dibatasi oleh tindakan-tindakan dari orang dan kelompok dalam masyarakat. Dalam sebuah survei terhadap lebih dari 5.000 orang Yahudi di 9 negara Eropa, 22% mengatakan mereka menghindari mengenakan pakaian keagamaan seperti kippa karena khawatir akan keamanan mereka sendiri. Dan di beberapa negara, pemakaman Yahudi dinistakan.
Di negara-negara seperti Mesir, Pakistan, dan sebagian wilayah Nigeria orang takut menghadiri tempat ibadah karena khawatir diserang oleh kelompok teror yang melakukan kekerasan atas nama Islam. Sementara di beberapa wilayah di Republik Afrika Tengah, salat Jumat bersama tidak mungkin dilakukan karena risiko serangan dari milisi yang menyasar Muslim.
Ringkasnya, kebebasan untuk memanifestasikan agama atau kepercayaan melindungi hak-hak individu dan kelompok untuk mengekspresikan iman atau kepercayaan dalam kata-kata dan tindakan. Ini dapat dilakukan baik secara pribadi maupun publik. Dokumen hak asasi manusia memberikan banyak contoh jenis praktik yang dilindungi, dan salah satu perlindungan terpenting bagi kelompok keagamaan adalah hak untuk mendapat identitas legal.
Hak untuk memanifestasikan agama atau kepercayaan boleh dibatasi tetapi hanya jika seperangkat aturan ketat diikuti, yang menunjukkan bahwa batasan itu legal, diperlukan untuk melindungi orang lain, tidak diskriminatif, dan sebanding dengan masalah yang ditangani.
Sayangnya banyak pemerintahan tidak mengikuti aturan ini. Hak untuk memanifestasikan agama atau kepercayaan dilanggar baik oleh pemerintah maupun oleh sejumlah kelompok dalam masyarakat.
Anda dapat menemukan lebih banyak informasi tentang hak untuk memanifestasikan agama atau kepercayaan, termasuk teks-teks dokumen hak asasi manusia yang membahas topik ini dalam materi pelatihan di situs web.
End of Transcript
3. Hak untuk mempraktikkan agama atau keyakinan
Ada berbagai cara untuk mengekspresikan dan mempraktikkan agama atau keyakinan. Apa saja yang dilindungi oleh Hak Asasi Manusia dan apa yang tidak? Dilengkapi dengan contoh pelanggaran atas hak untuk memanifestasikan agama atau keyakinan dari berbagai belahan dunia.
4. Perlindungan dari paksaan
Dimensi penting dari KBB adalah hak untuk mendapat perlindungan dari paksaan. Paksaan adalah suatu kondisi ketika seseorang menggunakan kekerasan atau intimidasi untuk membuat Anda melakukan sesuatu.
Dimensi utama dari kebebasan beragama atau kepercayaan adalah bahwa setiap orang berhak untuk memiliki atau mengubah agama atau kepercayaan mereka. Dengan kata lain, beragama atau berkepercayaan serta ekspresinya bersifat sukarela.
Inilah yang dijelaskan oleh hak atas perlindungan dari paksaan: Tidak ada satu pihak pun, baik itu negara, pemimpin agama maupun orang atau organisasi apapun yang berhak untuk memaksakan kepercayaan atau praktik atas kepercayaan mereka kepada orang lain. Termasuk juga tidak berhak untuk membuat orang lain memiliki, mempertahankan, atau mengubah agama atau kepercayaannya.
Kovenan Hak-Hak Sipil dan Politik, Pasal 18 ayat (2)
“Tidak seorang pun dapat dipaksa sehingga terganggu kebebasannya untuk menganut atau menetapkan agama atau kepercayaan sesuai dengan pilihannya.”
Dimensi ini tidak hanya melarang negara untuk memaksa warga negaranya, tetapi juga memberi tugas kepada negara untuk melindungi orang-orang dari ancaman maupun kekerasan dari orang atau kelompok lain di dalam masyarakat.
Namun demikian, di seluruh dunia kita dapat melihat contoh-contoh paksaan dalam bentuk ancaman, kekerasan maupun hukuman seperti denda dan penjara. Paksaan juga bisa dilakukan dalam bentuk yang lebih halus, seperti misalnya menawarkan pekerjaan dengan syarat mengubah agama, atau menghentikan akses pada layanan kesehatan dan pendidikan ketika seseorang menolak untuk menganut agama atau kepercayaan tertentu.
Terkadang negara terlibat dalam pemaksaan, baik secara resmi melalui pembentukan hukum (legislasi), maupun melalui tindakan pejabat di tingkat daerah.
Komunitas Baha’i adalah kaum agama minoritas terbesar di Iran. Sejak revolusi 1979, Baha’i telah mengalami penganiayaan secara sistematis sebagai akibat dari kebijakan pemerintah yang memaksa mereka untuk berpindah agama ke Islam. Dalam kurun waktu 10 tahun setelah revolusi, lebih dari 200 penganut Baha’i dibunuh, ratusan lainnya disiksa atau dipenjara, dan puluhan ribu lainnya kehilangan akses pekerjaan, pendidikan, dan hak-hak lainnya, hanya karena kepercayaan agamanya.
Hingga Desember 2017, terdapat 97 penganut Baha’i yang ditahan karena kepercayaannya, termasuk 6 pemimpin Baha’i di tingkat nasional.
Contoh ini menunjukkan adanya keterkaitan antara diskriminasi dan paksaan. Para penganut Baha’i di Iran dilarang menjadi mahasiswa di universitas serta menjadi pegawai negeri sipil. Aturan yang diskriminatif ini bersifat memaksa. Ketika seorang mahasiswa atau pegawai diketahui sebagai penganut Baha’i, mereka dihadapkan pada dua pilihan antara masuk Islam atau kehilangan status mereka (sebagai mahasiswa atau pegawai).
Terkadang kelompok nasionalis atau ekstrimis memaksa orang-orang untuk mengubah agama atau kepercayaan mereka. Daesh, atau yang disebut juga dengan ISIS, memaksa penganut Yazidi dan Kristen untuk berganti agama, dan membunuh mereka yang menolaknya. Sementara di India, ada pemaksaan untuk mengganti agama menjadi Hindu dalam kaitannya dengan kekerasan komunal yang melibatkan kelompok nasionalis-Hindu. Di Myanmar, terdapat dokumentasi kasus-kasus ketika para tentara memaksa orang-orang Kristen, di bawah ancaman senjata, agar mereka melepaskan iman mereka dan berpindah ke agama Buddha. Di beberapa bagian Republik Afrika tengah, umat Islam juga diancam akan ditembak kecuali mereka masuk/pindah ke agama Kristen.
Meskipun larangan pemaksaan secara formal berlaku terkait hak untuk memiliki, mengadopsi, atau mengubah agama atau kepercayaan, ada juga paksaan dalam praktik beragama, dari negara atau anggota masyarakat lainnya. Isu yang bisa menggambarkan bentuk paksaan ini adalah cara berpakaian perempuan. Beberapa negara memiliki aturan hukum yang mengharuskan perempuan untuk berpakaian sesuai dengan ajaran agama, sementara negara-negara yang lain melarang penggunaan pakaian perempuan yang sesuai dengan ajaran agamanya. Para perempuan dapat mengalami pelecehan dari orang-orang di luar komunitas agamanya ketika mereka mengenakan pakaian yang sesuai dengan ajaran agama mereka, dan juga mengalami pelecehan dari orang-orang di dalam komunitas agama mereka ketika para perempuan ini tidak mengenakan pakaian yang sesuai dengan ajaran agamanya.
Banyak tipe orang yang bisa mengalami pemaksaan. Di banyak negara, orang-orang dengan ide atau praktik keagamaan yang berbeda dari ideologi negara atau norma sosial mengalami pemaksaan. Minoritas, ateis, orang-orang yang berganti agama, serta orang dengan agama yang dipandang ‘asing’ sering mendapat pemaksaan. Dan di dalam kelompok-kelompok keagamaan, orang-orang yang dianggap menyimpang, menodai, atau tidak mempraktikkan agama secara benar dapat terkena pemaksaan untuk mengubah kepercayaan dan praktik mereka. Pemaksaan yang dilakukan oleh negara, keluarga, atau komunitas mereka.
Dapat disimpulkan, pemaksaan dapat meliputi ancaman, kekerasan, diskriminasi atau hukuman seperti denda dan penjara, serta dapat datang dari negara, atau dari orang-orang dan kelompok-kelompok di masyarakat. Dengan mengatakan bahwa tidak ada seorang pun yang bisa dibenarkan untuk dipaksa, hukum Hak Asasi Manusia internasional tidak hanya melarang negara melakukan pemaksaan, tetapi juga memberi tugas negara untuk melindungi orang-orang dengan bertindak secara efisien untuk mencegah dan menghentikan pemaksaan yang terjadi di masyarakat.
Anda dapat menemukan informasi lebih lanjut mengenai perlindungan atas pemaksaan, termasuk teks-teks dokumen hak asasi manusia yang membahas topik ini dalam materi pelatihan pada situs web.
End of Transcript
4. Perlindungan dari paksaan
Paksaan berarti dipaksa untuk mengatakan atau melakukan sesuatu. Film ini mengeksplorasi kewajiban pemerintah untuk tidak melakukan paksaan dalam urusan agama atau keyakinan, dan untuk melindungi Anda dari paksaan yang terjadi di dalam masyarakat. Contoh dari berbagai belahan dunia mengilustrasikan bentuk-bentuk paksaan yang dapat terjadi.
5. Perlindungan dari diskriminasi (Bahasa Indonesia)
Salah satu hak yang berkaitan erat dengan KBB adalah perlindungan dari diskriminasi. Diskriminasi terjadi ketika seseorang tidak diperlakukan sebaik perlakuan terhadap orang lain karena identitas mereka yang berbeda.
Salah satu aturan baku hukum Hak Asasi Manusia internasional mengatakan bahwa negara tidak boleh melakukan diskriminasi atas dasar apapun, termasuk agama dan kepercayaan. Pasal 2 Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Sipil dan Politik serta Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia PBB.
Kovenan Hak-Hak Sipil dan Politik, Pasal 2 ayat (1)
“Setiap Negara pihak pada Kovenan ini berjanji untuk menghormati dan menjamin hak-hak yang diakui dalam Kovenan ini bagi semua orang yang berada dalam wilayahnya dan tunduk pada wilayah hukumnya, tanpa pembedaan apapun seperti ras, warna kulit, jenis kelamin, bahasa, agama, pandangan politik atau pandangan lainnya, asal-usul kebangsaan atau status sosial, pemilikan, kelahiran atau status lainnya.”
Jadi, diskriminasi atas dasar agama atau kepercayaan itu dilarang. Larangan atas diskriminasi serupa dengan larangan atas pemaksaan. Selain dilarang untuk secara aktif melakukan diskriminasi, negara juga diminta untuk bertindak secara efisien dalam mencegah dan menghentikan diskriminasi yang terjadi di masyarakat.
Meskipun demikian, diskriminasi bisa jadi merupakan pelanggaran atas kebebasan beragama dan berkepercayaan yang paling sering dialami oleh semua kelompok keagamaan atau kepercayaan.
Di Swedia, penelitian menunjukkan bahwa kaum Yahudi mempunyai kesempatan 26% lebih rendah untuk mendapatkan pekerjaan, sementara kaum Muslim mempunyai 30% kesempatan lebih rendah. Isu mengenai hal ini, juga tentang diskriminasi lain di lapangan pekerjaan, semisal larangan penggunaan simbol-simbol keagamaan seperti salib dan hijab di tempat kerja, merupakan masalah yang penting yang sudah sering dibawa ke Pengadilan Eropa dan Komite Hak Asasi Manusia PBB.
Diskriminasi bisa terjadi dalam berbagai bentuk. Terkadang diskriminasi terjadi dalam bentuk pilih kasih (favoritisme) terhadap satu agama tertentu, misalnya ketika negara memberikan dana bantuan. Terkadang diskriminasi yang lebih parah juga terjadi dan bisa berujung pada pengingkaran hak, misalnya hak terkait dengan identitas, atau pembangunan rumah ibadah. Diskriminasi negara yang didasarkan atas agama atau kepercayaan tidak hanya berakibat pada aktivitas keagamaan, tetapi juga mempengaruhi aspek-aspek lain dalam kehidupan termasuk perkawinan, perwalian anak, akses terhadap pekerjaan, perumahan, layanan sosial dan keadilan.
Di banyak negara, agama penduduk dicantumkan di dalam KTP. Karena hal ini, kaum minoritas menjadi rentan terdiskriminasi setiap kali mereka harus menunjukkan KTP.
Pemeluk Hindu di beberapa bagian di Indonesia harus menempuh perjalanan jauh hanya untuk mencatatkan perkawinan mereka karena pejabat lokal menolak untuk mencatatnya. Orang Kristen kesulitan untuk mendapatkan izin pendirian rumah ibadah. Pengadilan telah berkali-kali memutuskan perkara pendirian rumah ibadah ini dengan memenangkan pihak Kristen. Namun tetap saja pemerintah daerah tidak memedulikan putusan pengadilan, karena, dalam beberapa kasus, pemerintah takut pada kelompok ekstremis yang menggunakan kekerasan.
Di Pakistan, peraturan diskriminatif menyatakan aktivitas Ahmadiyah untuk berkhotbah, berdakwah, atau menyebarkan ajaran mereka sebagai tindakan kriminal. Kaum Ahmadi di Pakistan juga kehilangan hak memilih dalam pemilihan umum.
Organisasi Hak Asasi Manusia di Kenya menyatakan bahwa upaya memerangi terorisme di negara tersebut telah mengakibatkan masifnya penargetan serta hukuman kolektif terhadap kaum Muslim yang dilakukan oleh pasukan pengamanan. Laporan-laporan menunjukkan adanya penahanan yang sewenang-wenang, penyiksaan, pembunuhan, dan penghilangan yang tidak diakui oleh pemerintah.
Di dua puluh desa di Myanmar, biksu-biksu Buddha mendeklarasikan zona tanpa Muslim dengan cara memasang plang yang bertuliskan larangan bagi orang Islam memasuki atau bermalam di desa tersebut; larangan bagi penduduk untuk menikahi orang Islam. Mereka juga menyebarkan propaganda kebencian. Pemerintah tidak melakukan apapun untuk menghentikan hal ini.
Sering kali seseorang didiskriminasi atas dasar beberapa hal sekaligus. Misalnya, diskriminasi yang terjadi atas dasar agama dan etnis, gender, atau kelas. Dalam peristilahan Hak Asasi Manusia, peristiwa semacam ini disebut sebagai diskriminasi interseksional. Hal ini membuat KBB beberapa kelompok di dalam masyarakat menjadi lebih rentan, misalnya perempuan, masyarakat adat, etnis minoritas, komunitas LGBT, migran, dan pengungsi.
Mari kita lihat contoh diskriminasi interseksional yang terjadi di India.
Sistem kasta Hindu merupakan sistem kelas sosial yang kaku. Sistem ini membagi masyarakat pada kasta tinggi dan rendah serta mereka yang tidak memiliki kasta seperti Paria. Kaum Paria sering kali merupakan kelompok yang paling miskin dari yang miskin. Mereka menghadapi diskriminasi sosial dan ekonomi yang luar biasa. Walaupun mengakar pada ajaran Hindu, sistem kasta meresap di seluruh masyarakat India sehingga semua orang, terlepas dari agamanya, juga dimasukan dalam kasta-kasta tertentu. Misalnya, banyak orang Kristen dan Muslim India yang dari asal-usulnya merupakan kaum Paria.
Ketika India merdeka, pemerintah melarang sistem kasta dan mencoba menggantikan sistem ini dengan sebuah upaya afirmasi. Sistem ini memberikan jatah kepada Paria untuk diterima di sekolah-sekolah tinggi negeri serta menempati posisi pegawai negeri. Selain itu mereka juga diberikan layanan kesejahteraan sosial. Kita akan berpikir hal itu sangat baik. Namun, afirmasi ini hanya diberikan kepada kaum Paria Hindu, Sikh, dan Buddha. Paria Kristen dan Muslim tidak mendapat afirmasi ini.
Paria Kristen dan Muslim menghadapi diskriminasi di masyarakat, baik karena kasta maupun agama minoritas mereka. Mereka juga didiskriminasi oleh negara atas dasar agama, dikecualikan dari kebijakan afirmasi pemerintah untuk menghilangkan diskriminasi kasta. Hal ini berpengaruh pada pembangunan ekonomi dan sosial kaum Paria Kristen dan Paria Islam.
Sebagai kesimpulan: Negara tidak boleh mendiskriminasi warganya atas dasar agama atau kepercayaan. Negara juga memiliki kewajiban untuk melindungi warganya dengan kebijakan yang efisien untuk mencegah dan menghentikan diskriminasi di masyarakat.
Diskriminasi bisa terjadi dalam beberapa bentuk dan memengaruhi berbagai aspek kehidupan. Sering kali, seseorang menghadapi diskriminasi atas dasar beberapa hal sekaligus, secara interseksional, termasuk atas dasar agama atau kepercayaan.
Anda dapat menemukan informasi lebih lanjut mengenai perlindungan atas diskriminasi, termasuk teks-teks dokumen hak asasi manusia yang membahas topik ini dalam materi pelatihan di situs web.
End of Transcript
6. Hak orang tua dan anak
Pasal 18 Kovenan Internasional PBB tentang Hak-Hak Sipil dan Politik memberikan hak yang spesifik kepada orang tua dan anak-anak terkait dengan KBB. Orang tua dan wali mempunyai hak untuk memberikan pelajaran agama dan moral kepada anak-anak mereka, serta untuk mengatur kehidupan rumah tangga mereka berdasarkan kepercayaan yang mereka anut.
Tapi bukan berarti hanya orang tua yang mempunyai Hak Asasi Manusia! Anak-anak juga mempunyai hak atas KBB. Misalnya hak untuk menjadi bagian dari komunitas keagamaan atau berkepercayaan, serta berpartisipasi dalam festival atau ibadah keagamaan.
Anak-anak juga mempunyai hak untuk mengakses pendidikan keagamaan sesuai dengan keinginan orang tua atau walinya. Anak-anak tidak boleh dipaksa untuk mengikuti ajaran agama resmi pemerintah yang tidak dikehendaki oleh orang tuanya, dan jika anak itu sudah dianggap dewasa, pendapatnya pun perlu untuk dipertimbangkan.
Terdapat banyak contoh yang menggambarkan bagaimana hak ini dilanggar. Di negara-negara Asia Tengah, sistem pemerintahan Soviet mewariskan kebijakan negara yang bisa mengontrol setiap aspek kehidupan warganya. Di Tajikistan, misalnya, semua yang berusia dibawah 18 tahun dilarang untuk mengikuti ibadah atau kegiatan keagamaan, kecuali untuk pemakaman. Di negara-negara Asia Tengah lainnya, pemerintah menginterogasi dan melecehkan anak-anak usia sekolah yang mengunjungi masjid dan gereja, atau yang berpartisipasi dalam kegiatan kemah musim panas, serta menjadikan mereka sebagai objek perundungan publik di sekolah.
Beberapa pemerintah melarang anak-anak mempraktikkan agamanya. Beberapa pemerintah lain memaksa anak-anak dari agama minoritas untuk mengikuti ajaran kegamaan yang bertujuan untuk mengubah agama mereka ke agama mayoritas. Hal ini tetap terjadi meskipun negara wajib memastikan bahwa anak-anak mendapat pengecualian dari pendidikan keagamaan untuk tujuan peningkatan keimanan yang eksklusif, bukan hanya secara teori melainkan juga dalam praktik.
Di Turki, kurikulum dan buku panduan tentang budaya dan etika keagamaan masih memasukkan ajaran agama seperti itu meskipun telah terjadi banyak perubahan. Siswa beragama Yahudi dan Kristen masih mendapatkan pengecualian dalam teori, tetapi dalam praktiknya pengecualian ini sangat sulit, bahkan tidak mungkin didapatkan. Anak-anak yang memiliki kepercayaan atau berasal dari keluarga pengikut Alevi, Baha’i, ateis, dan agnostik, dipaksa untuk mengambil pelajaran agama tersebut. Dari berbagai contoh ini, hak orang tua dan anak-anak sama-sama dilanggar.
Sebelum Konvensi Hak Anak diberlakukan, hukum Hak Asasi Manusia internasional tidak begitu memperhatikan mengenai hak anak sebagai hak tersendiri. Konvensi Hak Anak mengubah persepsi ini, dengan menekankan bahwa anak-anak adalah pemegang hak, dan Pasal 14 dari Konvensi ini menekankan juga bahwa mereka mempunyai hak atas KBB.
Pasal 14 memperhatikan anak-anak sebagai sosok yang merdeka tetapi juga rentan. Mereka membutuhkan bantuan dan bimbingan dari orang tua ketika mereka mempraktikkan hak atas KBB mereka, khususnya ketika berhadapan dengan negara.
Konvensi ini menekankan pentingnya asas kepentingan terbaik anak (the best interest of the child). Selain itu, konvensi ini juga menekankan hak anak-anak untuk mengekspresikan opini mereka atas segala hal yang berpengaruh pada mereka. Meskipun demikian, sering kali orang dewasa, khususnya orang tualah yang menentukan kepentingan terbaik anak mereka, dan berbicara atas nama mereka.
Padahal terkadang kepentingan anak berbeda dari kepentingan orang tua. Dalam kasus-kasus seperti itu, hak anak atas KBB harus diimbangkan dengan hak orang tua atas KBB.
Contohnya, pada usia berapa anak seharusnya mendapat hak untuk membuat keputusan sendiri mengenai praktik beragama atau kepercayaannya? Misalnya tentang apakah mereka harus pergi ke gereja?
Menurut Konvensi Hak Anak, arahan orang tua kepada anak terkait dengan agama atau kepercayaan harus disesuaikan sesuai dengan perkembangan anak. Dengan kata lain, semakin dewasa seorang anak, semakin besar kebebasan yang mereka miliki.
Norma hukum internasional untuk menentukan seseorang menjadi dewasa adalah usia 18 tahun. Tetapi pertanyaan tentang seberapa besar kemandirian dan kematangan mental seorang anak sangat beragam bergantung pada konteks dan budaya. Negara yang berbeda memiliki aturan hukum yang berbeda pula. Di Swedia misalnya, anak-anak dari usia 12 tahun tidak bisa menjadi anggota komunitas keagamaan tanpa persetujuan mereka sendiri.
Konvensi Hak Anak membuat norma universal tentang bagaimana seharusnya orang tua memperlakukan anak. Dalam hal ini, praktik keagamaan atau kepercayaan seharusnya tidak membahayakan kesehatan dan perkembangan anak, secara fisik maupun mental.
Kasus-kasus tentang hak orang tua atas KBB yang dilawankan dengan hak anak jarang muncul di pengadilan. Namun ada satu contoh kasus ketika Saksi Yehuwa melarang anaknya untuk mendapatkan transfusi darah, namun hakim mengenyampingkan hak orang tua atas KBB, karena memandang hak anak untuk hidup lebih penting.
Sebagai kesimpulan: di dalam film ini kita telah melihat hak-hak yang dimiliki oleh orang tua dan anak.
Anak-anak mempunyai hak atas KBB, dan orang tua juga mempunyai hak untuk membesarkan anak-anaknya sesuai dengan kepercayaan mereka. Hal ini seharusnya dilakukan sesuai dengan perkembangan kematangan anak, dan praktik beragama dan berkepercayaan tidak boleh membahayakan kesehatan atau peerkembangan fisik dan mental anak. Salah satu contoh pelanggaran adalah ketika negara melarang anak-anak untuk mempraktikkan agamanya, atau negara memaksakan pendidikan agama mayoritas kepada anak-anak dari kalangan agama minoritas.
Anda dapat menemukan informasi lebih lanjut mengenai hak orang tua dan anak-anak dalam kaitannya dengan hak atas KBB, termasuk teks-teks dokumen hak asasi manusia yang membahas topik ini dalam materi pelatihan di situs web.
End of Transcript
7. Keberatan berdasarkan kesadaran hati nurani (Bahasa Indonesia)
Kebebasan berpikir dan kesadaran hati nurani dilindungi oleh Pasal 18 Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Sipil dan Politik, bersama dengan KBB. Oleh karena itu, keberatan berdasarkan kesadaran hati nurani juga merupakan bagian dari KBB.
Keberatan berdasarkan kesadaran hati nurani berarti menolak untuk melakukan sesuatu yang diwajibkan, karena dengan melakukannya akan melanggar hati nurani atau kepercayaan agama Anda.
Contoh dari hal ini adalah mereka yang menolak untuk melakukan wajib militer, mengangkat sumpah, menerima transfusi darah, atau mengikuti prosedur medis tertentu. Satu-satunya keberatan berdasarkan kesadaran hati nurani yang disebutkan di dokumen PBB adalah hak untuk menolak mengikuti dinas militer. Hal ini tidak ditemukan dalam kovenan PBB yang mengikat secara hukum maupun dalam Deklarasi Universal tentang Hak Asasi Manusia. Ia disebutkan dalam General Comment (Komentar Umum – dokumen tambahan untuk menjelaskan konvenan PBB) nomor 22 yang dibuat oleh Komite Hak Asasi Manusia PBB. General Comment merupakan dokumen yang ditulis oleh pakar Hak Asasi Manusia PBB yang menjelaskan bagaimana seharusnya negara-negara mengartikan Pasal 18 Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Sipil dan Politik. Komite ini menyimpulkan bahwa Pasal 18 mendukung hak untuk melakukan keberatan berdasarkan kesadaran hati nurani dalam hal dinas militer, jika membunuh dapat menimbulkan konflik dengan hak atas KBB seseorang maupun manifestasi dari hak tersebut.
Banyak negara mengakomodasi hak ini, dan menawarkan alternatif lain serta pengecualian. Namun masih banyak negara yang memenjarakan mereka yang menolak melakukan dinas militer dengan alasan agama maupun kepercayaan pasifisme mereka. Saksi Yehuwa adalah kelompok yang paling terkena imbas dari kebijakan ini. Contohnya, pada bulan Desember 2016 di Korea Selatan, terdapat 389 saksi Yehuwa dipenjara karena keberatan berdasarkan kesadaran hati nurani mereka.
Menurut Lembaga Hak Asasi Manusia PBB, seharusnya ada alternatif non-militer bagi mereka yang memiliki keberatan berdasarkan kesadaran hati nurani dan ini diberikan tanpa diskriminasi bagi semua orang yang diwajibkan untuk mengikuti dinas militer. Informasi mengenai hal itu harus diketahui, termasuk juga bagaimana cara mendapatkannya. Mereka yang diwajibkan maupun mereka yang secara sukarela melakukan dinas militer seharusnya dapat mengajukan keberatan sebelum dan selama dinas militer.
Sebagai tambahan dari keberatan berdasarkan kesadaran hati nurani dalam dinas militer, bentuk-bentuk keberatan berdasarkan kesadaran hati nurani lain sering diakomodasi di level nasional. Misalnya terkait dengan layanan kesehatan, seperti bidan dan dokter yang menolak melakukan aborsi. Di beberapa negara, keberatan berdasarkan kesadaran hati nurani juga disampaikan dalam kaitannya dengan perkawinan sesama jenis. Sering kali pertanyaan sulit mengenai hak-hak yang saling berkonflik akan muncul, misalnya hak untuk melakukan keberatan berdasarkan kesadaran hati nurani yang berkonflik dengan hak perempuan atau peraturan anti-diskriminasi.
Belum ada norma hukum internasional yang jelas mengenai keberatan berdasarkan kesadaran hati nurani. Isu ini masih sangat kontroversial.
Berikut adalah tiga pendapat yang akan sering Anda temui:
Beberapa orang berpendapat bahwa keberatan berdasarkan kesadaran hati nurani adalah bagian dari hak mutlak atas KBB, dan oleh karena itu seharusnya tidak dibatasi. Mereka berpendapat bahwa mengikuti hati nurani tidak seharusnya berakibat pada penghukuman atau akibat buruk, karena jelas mustahil menjadi seorang pasifis dan sekaligus tentara. Memaksa seorang pasifis menjadi tentara melanggar hak internal mereka yang bersifat mutlak untuk memiliki agama atau kepercayaan.
Sebagian orang lain bersepakat bahwa hak tersebut bersifat mutlak, tapi tergantung pada situasi. Bagi mereka, orang yang direkrut dalam wajib militer, tahanan, atau orang yang tak memiliki pilihan, seharusnya tidak dipaksa untuk mengingkari kesadaran hati nuraninya. Namun orang-orang yang secara sukarela mendaftar pekerjaan dan mundur kapanpun untuk meninggalkan pekerjaannya tidak bisa secara otomatis mengandaikan pemberi kerjanya akan mengakomodasi kesadaran hati nurani mereka. Dengan kata lain, memilih untuk melakukan sesuatu sesuai dengan hati nurani bisa jadi ada harganya.
Beberapa orang lain berpendapat bahwa keberatan berdasarkan kesadaran hati nurani adalah suatu tindakan, dan oleh karenanya merupakan manifestasi dari hati nurani, agama, atau kepercayaan. Manifestasi bisa dibatasi, tetapi pembatasan tersebut hanya jika diperlukan dalam rangka melindungi hak dan kebebasan orang lain, kesehatan masyarakat, ketertiban umum, atau moralitas. Dalam hal keberatan berdasarkan kesadaran hati nurani yang terkait dengan dinas militer, penting untuk menggarisbawahi bahwa keamanan nasional bukanlah merupakan alasan yang sah untuk membatasi KBB.
Pakar hukum berbeda pendapat mengenai pandangan-pandangan tersebut.
Sebagai kesimpulan: di dalam film ini kita telah melihat tentang keberatan berdasarkan kesadaran hati nurani. Keberatan berdasarkan kesadaran hati nurani adalah hak untuk menolak melakukan sesuatu yang seharusnya seseorang dalam kondisi normal diharapkan melakukannya. Keberatan berdasarkan kesadaran hati nurani dalam kaitannya dengan dinas militer dilindungi oleh hukum Hak Asasi Manusia internasional. Banyak negara mengakomodasi hak ini, tapi masih banyak juga orang-orang yang dipenjara karena mengajukan keberatan berdasarkan kesadaran hati nurani mereka. Beberapa negara juga telah memberikan alternatif lain bagi keberatan berdasarkan kesadaran hati nurani di level nasional. Namun demikian, hak ini masih kontroversial, dan hukum internasional mengenai hal ini belum cukup berkembang.
Anda dapat menemukan informasi lebih lanjut mengenai keberatan berdasarkan kesadaran hati nurani, termasuk teks-teks dokumen hak asasi manusia yang membahas topik ini dalam materi pelatihan di situs web.
End of Transcript
7. Keberatan berdasarkan kesadaran hati nurani
Keberatan berdasarkan kesadaran hati nurani adalah hak untuk menolak melakukan sesuatu yang seharusnya seseorang dalam keadaan normal diharapkan dapat melakukannya, namun dalam suatu kondisi melakukan hak ini menimbulkan pertentangan dengan keyakinan Anda yang paling dalam. Ini merupakan hak yang mendapatkan perlindungan paling lemah dalam kebebasan beragama atau berkeyakinan.
8. Pembatasan terhadap kebebasan beragama atau berkeyakinan
Anda pasti sudah tahu dari melihat berita, atau mungkin telah mengalami sendiri, bagaimana pemerintah melakukan pembatasan pada KBB. Pemerintah berpendapat bahwa mereka perlu membatasi ekspresi keagamaan dengan alasan-alasan tertentu. Bagaimana kita bisa menilai, apakah alasan tersebut dapat dibenarkan?
Hukum Hak Asasi Manusia internasional menyatakan bahwa hak untuk memiliki, memilih, berganti, atau meninggalkan suatu agama atau kepercayaan adalah suatu hak yang mutlak, tidak bisa dibatasi. Di sisi yang lain, hak untuk memanifestasikan agama atau kepercayaan dapat dibatasi, hanya jika keempat aturan ini terpenuhi:
1. Segala bentuk pembatasan harus diatur dengan aturan hukum.
Asalannya adalah agar negara, polisi, dan pengadilan, tidak melakukan pembatasan ini seenaknya dan secara inkonsisten.
2. Pembatasan haruslah diperlukan demi melindungi keselamatan, ketertiban, kesehatan, dan moral masyarakat, atau hak dan kebebasan orang lain.
Hal ini penting. Membatasi KBB dengan alasan bahwa hal itu diperlukan untuk melindungi orang lain berbeda dari alasan agar pemerintah mendapat dukungan sebagian kelompok.
3. Pembatasan tidak boleh bersifat diskriminatif.
4. Dan pembatasan harus sebanding dengan permasalahan yang terjadi akibat pelaksanaan suatu hak.
Aturan-aturan ini sangat penting. Tanpanya, pemerintah bisa sesuka hati membatasi kelompok maupun praktik keagamaan yang tidak disukainya. Pembatasan haruslah merupakan pilihan terakhir, dan bukannya digunakan sebagai alat kontrol oleh negara.
Mari kita gunakan contoh untuk menjelaskan keempat aturan tersebut.
Bayangkan di sebuah kota ada lima kelompok agama yang berbeda. Kelimanya memiliki rumah-rumah ibadah dan menimbulkan kebisingan yang tidak disukai oleh penduduk disekitarnya. Tetapi polisi hanya menerima keluhan atas satu kelompok saja yang tidak populer.
Kebisingan dengan level yang tinggi tentu tidak baik bagi kesehatan umum, dan karenanya itu adalah alasan yang sah untuk melakukan pembatasan. Jadi apa yang seharusnya dilakukan oleh pemerintah setempat? Pengaturan seperti apa yang diperlukan, tidak diskriminatif dan proporsional untuk melindungi kesehatan umum?
Di dalam kasus ini, suatu aturan umum yang mengatur volume suara yang diizinkan dalam pertemuan publik dapat dibuat. Suatu aturan yang berlaku setara bagi semua kelompok agama dan kelompok lainnya. Jika ada kelompok yang melebihi volume suara yang diizinkan, layak jika mereka diminta mengurangi volume suaranya atau mereka akan dikenai sanksi. Menjadi tidak proporsional jika meminta mereka untuk tidak menyalakan suara sama sekali atau melarang mereka untuk melaksanakan pertemuan apapun.
Dan polisi seharusnya menerapkan kebijakan ini secara merata, bahkan jika mereka hanya menerima pengaduan mengenai satu kelompok minoritas.
Itu contoh yang sangat sederhana.
Ketika kita melihat pelanggaran atas KBB, biasanya sangat mudah untuk melihat bahwa aturan-aturan ini dikesampingkan, karena pembatasan-pembatasan yang terjadi sangat jelas tidak diperlukan, diskriminatif, serta tidak proporsional.
Beberapa negara melarang semua kegiatan keagamaan yang dilakukan di luar tempat-tempat yang terdaftar. Jika demikian, maka melakukan doa sebelum makan bersamu tamu Anda di dalam rumah adalah hal yang ilegal! Pembatasan seperti ini tentu sangat tidak sah!
Namun demikian banyak kasus-kasus kontroversial. Apakah boleh sebuah kota besar di Prancis melarang burkini–pakaian renang yang menutup semua badan kecuali wajah dan telapak kaki. Atau bolehkah pemerintahan lokal di India membatasi hak seseorang untuk memberitahu orang lain tentang kepercayaannya?
Di dalam presentasi ini kita akan melihat tujuh pertanyaan yang harus diajukan oleh pengadilan untuk memutuskan apakah sebuah pembatasan yang dilakukan oleh pemerintah itu sah. Semoga ini bisa membantu Anda untuk menilai pembatasan-pembatasan yang Anda alami.
Ketika suatu negara menerapkan pembatasan, pertanyaan pertama yang harus diajukan adalah apakah pembatasan tersebut merintangi hak mutlak untuk memiliki atau menganut suatu agama atau kepercayaan, atau hak untuk memanifestasikan agama.
Jika hak mutlak yang dibatasi, pembatasan yang dilakukan oleh negara menjadi tidak sah. Namun jika yang dibatasi adalah manifestasi dari hak tersebut, kita akan lanjutkan ke pertanyaan berikutnya.
Apakah perilaku yang dibatasi itu termasuk manifestasi dari ajaran agama atau kepercayaan, atau hanya sebuah perilaku biasa?
Suatu perbuatan yang kita lakukan sering kali dipengaruhi oleh kepercayaan kita. Tetapi tidak semua yang kita lakukan adalah manifestasi dari ajaran agama atau kepercayaan yang dilindungi. Ketika seseorang mengadu bahwa hak mereka untuk melaksanakan sesuatu telah dibatasi, pengadilan harus dapat memastikan apakah perbuatan tersebut terkait manifestasi agama atau kepercayaan. Caranya adalah dengan melihat keterkaitan antara tindakan tersebut dengan kepercayaannya, untuk mengetahui apakah keduanya terhubung erat.
Dalam beberapa kasus, hal ini mudah. Pergi ke gereja erat kaitannya dengan Kristen, dan puasa erat kaitannya dengan Islam.
Tapi tidak semua kasus semudah itu. Misalnya, bagi seorang penganut Kristen menggunakan salib bukanlah hal yang penting; bagi yang lain, hal itu menunjukkan ekspresi dalam tentang identitas keagamannya. Perempuan-perempuan Muslim memiliki pendapat yang berbeda tentang hijab.
Bukan tugas pengadilan untuk memutuskan mana kepercayaan yang benar. Dalam memutuskan apa-apa saja yang termasuk pelaksanaan ajaran agama, pengadilan menghadapi risiko untuk membuat putusan yang berdasar pada satu doktrin tertentu yang bisa jadi memberikan keutamaan pada suatu interpretasi keagamaan tertentu. Hak Asasi Manusia dimiliki oleh perseorangan, sehingga pengadilan cenderung melihat pada kepercayaan yang dimiliki oleh orang-orang yang terlibat, dan bukannya melihat pada doktrin institusional, dan jika seseorang memiliki alasan untuk menyatakan bahwa perbuatan yang dilakukannya merupakan suatu pelaksanaan dari ajaran agama, maka pengadilan harus menerimanya.
Setelah kita menyimpulkan bahwa manifestasi yang dilindungi dibatasi, kita perlu memeriksa apakah pembatasan tersebut diatur dengan hukum.
Apakah ada aturan hukum tertulis, putusan pengadilan, atau hukum lain yang mengatur mengenai pembatasan ini? Atau pembatasan ini hanya dikenakan oleh pejabat tanpa ada dasar hukumnya? Jika tidak ada dasar hukumnya, pembatasan ini tidak sah.
Langkah selanjutnya adalah memeriksa apakah pembatasan ini diperlukan untuk alasan yang sah. Untuk menjawab ini, pertama-tama kita perlu memeriksa apakah ada hubungan langsung antara praktik yang dibatasi dengan salah satu alasan sah, kemudian diperiksa juga apakah pembatasan itu diperlukan? Mari kita lihat satu persatu.
Di dalam hukum internasional, alasan atau dasar yang sah untuk membatasi pelaksanaan hak atas KBB adalah untuk melindungi keselamatan masyarakat, ketertiban masyarakat, kesehatan masyarakat atau moral masyarakat, atau hak dan kebebasan orang lain.
Jadi kita perlu melihat bagaimana perbuatan yang dibatasi itu mengancam hal-hal tersebut? Dan apakah ada buktinya?
Negara perlu membuktikan adanya hubungan langsung antara perbuatan yang dibatasi dan salah satu dari alasan-alasan sah di atas.
Sistem kasta Hindu membagi masyarakat dalam kasta tinggi dan rendah, juga mereka yang tidak memiliki kasta. Mereka yang tidak memiliki kasta menghadapi diskriminasi besar-besaran serta merasakan kerugian sosial dan ekonomi. Beberapa kuil melarang masuk orang-orang yang tidak berkasta. India menghapuskan sistem kasta pada tahun 1949, dan kuil tidak lagi boleh melarang masuk orang-orang Hindu yang tanpa kasta. Pembatasan ini bisa melewati tes yang kita lakukan–jelas terlihat, ada hubungan antara mencegah diskriminasi kasta dan melindungi hak serta kebebasan orang lain.
Tetapi tidak semua pembatasan ini memiliki hubungan yang jelas dan sering kali pemerintah salah mengartikan atau menyalahgunakan alasan-alasan sah di atas.
Pembatasan atas KBB sering kali terkait dengan ketertiban masyarakat. Hukum tentang ketertiban masyarakat mengatur banyak hal, termasuk ancaman, gangguan, hasutan untuk melakukan kekerasan, dan pada beberapa hal, penistaan agama.
Kebebasan untuk melaksanakan ajaran agama atau kepercayaan termasuk hak untuk mengatakan apa yang Anda yakini sebagai suatu kebenaran. Tentu saja kepercayaan bisa diekspresikan secara damai atau dengan cara menghasut kepada kekerasan. Sayangnya, ada kasus-kasus di mana orang tersinggung dengan ekspresi kepercayaan yang dilakukan secara damai, kemudian meresponsnya dengan kekerasan.
Beberapa negara melarang ekspresi kepercayaan tertentu yang dilakukan secara damai. Mereka berpendapat bahwa terdapat alasan sah terkait dengan ketertiban masyarakat untuk menghindari kerusuhan massa. Indonesia melarang ekspresi kepercayaan Ahmadiyah dan ateisme dengan dasar ini. Akibatnya, korban kekerasan sering kali malah dijatuhi hukuman karena penistaan atau penghasutan, sementara pelaku kekerasannya tidak dihukum karena penyerangan yang dilakukannya.
Hukum seperti ini tidak mengurangi kekerasan. Justru memperkuat pandangan bahwa mereka yang memiliki kepercayaan yang ‘salah’ harus dihukum.
Alasan pembatasan lain yang rumit adalah moralitas masyarakat. Apakah semua orang memiliki moralitas yang sama dan moralitas siapa yang bisa diklaim sebagai moral masyarakat? Para pakar Hak Asasi Manusia PBB menyatakan bahwa definisi moralitas publik haruslah berasal dari “banyak tradisi sosial, filosofi, dan agama.” Dengan kata lain, Anda tidak bisa melakukan pembatasan hanya atas dasar moralitas yang diyakini oleh mayoritas.
Mungkin Anda kaget bahwa keamanan nasional bukan merupakan dasar pembatasan KBB yang sah.
Beberapa negara merendahkan kelompok-kelompok tertentu, khususnya kelompok-kelompok yang memiliki kesamaan agama dengan negara musuhnya, menyebut mereka sebagai ancaman terhadap keamanan negara. Para perumus Kovenan ini sepakat bahwa kesehatan, keselamatan, dan ketertiban masyarakat sudah memberikan cakupan yang memadai untuk pembatasan, dan menambahkan keamanan negara akan membuat KBB tidak dapat dilindungi justru ketika sangat dibutuhkan.
Jadi kita telah paham bahwa negara harus bisa membuktikan hubungan langsung, yang menunjukkan bagaimana suatu manifestasi KBB mengancam hal-hal yang disebutkan di atas. Kita juga telah melihat bahwa penting untuk memeriksa apakah alasan-alasan sah tersebut telah diartikan dan diterapkan secara benar.
Mari beralih ke bagian kedua dari pertanyaan kita – apakah pembatasan ini diperlukan? Bukan soal suka atau tidak suka dari perspektif politik atau mayoritas, tapi memang diperlukan.
Misalnya pemerintah telah dapat membuktikan adanya hubungan langsung antara pembatasan yang diajukannya dan perlindungan hak dan kebebasan orang lain.
Apakah ancaman itu cukup serius hingga diperlukan suatu pembatasan?
Akankah pembatasan yang diajukan ini efektif untuk melindungi hak orang lain?
Dan apakah ada acara lain untuk menyelesaikan masalah ini tanpa membatasi hak?
Jika masalahnya tidak terlalu serius, jika pembatasan yang diajukan tidak akan berkontribusi untuk menyelesaikan masalah, atau jika ada acara lain untuk menyelesaikan permasalahan ini tanpa membatasi hak, maka pembatasan itu tidak diperlukan.
Pemerintah Tiongkok mengklaim bahwa ada masalah kesehatan dan kesalamatan yang perlu diperhatikan dalam kasus pusat pelatihan Buddha yang melebihi kapasitas. Kesehatan dan keselamatan adalah alasan-alasan yang sah. Salah satu solusinya adalah mengizinkan pusat pelatihan tersebut untuk melakukan renovasi dan memperluas pusat pelatihan tersebut. Solusi ini tidak akan membatasi hak KBB. Tetapi pemerintah malah memilih untuk menghancurkan keseluruhan area pusat pelatihan dan memaksa 1.000 biksuni pergi. Kebijakan ini sangat tidak diperlukan.
Tentu saja, beberapa pembatasan memang diperlukan. PBB telah dengan jelas menyatakan bahwa praktik tradisi yang berbahaya semestinya dilarang, misalnya ritual inisiasi dan sunat perempuan.
Tentu saja banyak kasus yang tidak begitu jelas. Negaralah yang mesti membuktikan perlu atau tidaknya suatu pembatasan.
Setelah kita simpulkan bahwa negara punya alasan yang sah untuk membatasi, dan bahwa pembatasan itu memang diperlukan, kita perlu memeriksa apakah pembatasan itu diskriminatif.
Anda mungkin berpikir bahwa akan mudah melihat apakah suatu aturan hukum, kebijakan, atau perbuatan itu diskriminatif atau tidak. Jika secara nyata hal-hal itu diterapkan hanya kepada orang-orang tertentu saja, maka memang itu diskriminatif. Hal ini disebut sebagai diskriminasi langsung, dan hal ini dilarang.
Namun sering kali aturan hukum yang diterapkan kepada semua orang mempunyai akibat yang besar bagi beberapa orang, dan tidak berakibat bagi orang lainnya. Ini disebut sebagai diskriminasi tidak langsung.
Mari kembali ke contoh kota imajiner yang tadi kita bahas, dengan tempat-tempat ibadah yang berisik. Dewan kota telah membuat aturan yang membatasi volume kegiatan publik dan kelompok keagamaan harus menyesuaikan pengaturan pengeras suara mereka. Namun lonceng gereja terlalu keras dan Anda tidak bisa mengurangi volume suaranya. Gereja harus merelakan praktik tradisi mereka, sementara kelompok lain tidak memiliki masalah serupa.
Ini adalah diskriminasi tidak langsung.
Ada banyak contoh aturan umum yang berakibat pada diskriminasi tidak langsung:
Banyak negara melarang orang membawa pisau di tempat umum. Hal ini tidak berpengaruh pada kelompok-kelompok keagamaan atau kepercayaan, kecuali kaum Sikh. Laki-laki Sikh harus memakai Kirpan, semacam keris keagamaan, di balik baju mereka. Sehingga hukum yang melarang orang membawa pisau di tempat umum membatasi laki-laki Sikh untuk menjalankan kewajiban agama mereka.
Di beberapa negara, izin pendirian bangunan memerlukan persetujuan dari pemilik bangunan di sekitarnya. Namun tetangga bisa jadi memiliki prasangka, sehingga kelompok yang telah dikenal menjadi lebih mudah untuk mendapatkan izin dibandingkan kelompok kecil yang tidak dikenal.
Kebijakan dan praktik tertentu bisa juga menimbulkan masalah. Jika suatu universitas selalu mengadakan ujian masuk di hari Sabtu, maka para pengikut Adven dan Yahudi akan dirugikan. Sering kali para pekerja dari kelompok agama minoritas diharuskan mengambil hari libur ketika kalangan agama mayoritas merayakan hari besar agama mereka, sementara mereka malah tidak diberikan hari libur ketika perayaan hari besar keagamaan mereka.
Diskriminasi langsung selalu dilarang. Tetapi pengadilan juga perlu memperlakukan diskriminasi tidak langsung sebagai masalah yang perlu diselesaikan. Dan sering kali solusinya mudah saja. Di kota imajiner kita, dewan kota memberikan pengecualian sehingga gereja dapat membunyikan lonceng pada hari Minggu dan pada perayaan keagamaan.
Di Swedia, ujian masuk universitas biasanya dilakukan pada hari Sabtu. Sekarang ujian masuk ini dilakukan pada hari Jumat juga. Seragam di perkantoran juga disesuaikan untuk membolehkan variasi seperti turban.
Tapi pengadilan paham bahwa hal ini tidak selalu dimungkinkan. Diskriminasi tidak langsung bisa juga sah secara hukum jika bisa dibuktikan adanya alasan yang cukup baik dan objektif.
Misalnya, kebijakan kendali infeksi rumah sakit yang melarang karyawannya untuk memakai perhiasan bisa saja merugikan beberapa pihak. Namun kebijakan ini sah dengan alasan kesehatan masyarakat.
Kesehatan masyarakat tentu saja merupakan alasan yang sah untuk membatasi KBB. Namun dalam kaitannya dengan diskriminasi tidak langsung, pengadilan dapat menerima alasan-alasan lain juga. Misalnya, suatu perusahaan bisa saja berpendapat bahwa perusahaan akan dirugikan jika harus mengubah suatu kebijakan. Toko pakaian yang mengharuskan karyawannya untuk menggunakan pakaian dari produk mereka sendiri, bisa jadi tidak dapat mempekerjakan orang yang menolak menggunakan pakaian dari produk mereka atas alasan keagamaan.
Jadi, meskipun diskriminasi secara langsung itu dilarang, diskriminasi tidak langsung harus dihindari sejauh mungkin dengan mencari jalan lain yang masuk akal, yang bisa mengakomodasi kebutuhan individu dan kelompok tertentu.
Setelah kita menyimpulkan bahwa suatu pembatasan itu tidak diskriminatif, kita perlu memutuskan apakah pembatasan itu proporsional.
Sejauh mana pelaksanaan dari KBB dapat dibatasi? Apa yang harus dilarang, siapa yang dikenai larangan itu, kapan, dan di mana?
Ada perbedaan besar antara melarang seseorang untuk menggunakan pakaian kegamaan dalam melakukan profesi kerja mereka, dengan melarang semua orang untuk menggunakan pakaian keagamaan di jalanan.
Oleh karena itu, pengadilan internasional melihat proporsionalitas dalam hal ini. Pengadilan di Amerika Serikat bahkan menerapkan tes yang lebih ketat–pembatasan harus diterapkan selonggar mungkin.
Aspek terakhir yang digunakan oleh pengadilan, khususnya di Eropa, adalah apa yang disebut sebagai keleluasaan atau margin appresiasi. Intinya, dunia ini beragam dan prinsip Hak Asasi Manusia bisa diterapkan dengan banyak cara, sesuai konteks domestik suatu negara.
Oleh karena itu, beberapa pengadilan internasional menerapkan doktrin tersebut yang pada intinya berarti pemerintah suatu negara dianggap paling paham konteks domestik negaranya, dan karenanya paling tepat untuk menentukan peraturan di negaranya. Sehingga pengadilan internasional memberikan mereka keleluasaan bertindak atau diskresi sampai tingkat tertentu.
Pertanyaan pentingnya adalah, seberapa besar keleluasaan dapat diberikan kepada suatu negara, dan apakah pengadilan memberikan keleluasaan yang terlalu besar.
Dapat kita simpulkan:
Dalam berpikir apakah suatu pembatasan itu dibolehkan, kita menggunakan tahapan-tahapan ini:
i. Tentukan apakah pembatasan itu membatasi hak mutlak untuk memiliki atau mengubah agama atau kepercayaan Anda, atau manifestasinya.
ii. Pastikan apakah perilaku yang dibatasi merupakan manifestasi KBB yang dilindungi.
iii. Periksa apakah pembatasan tersebut memiliki dasar hukum.
iv. Pastikan sejauh mana manifestasi tersebut mengancam alasan-alasan pembatasan yang sah, misalnya hak dan kebebasan orang lain.
v. Periksa apakah pembatasan tersebut berupa diskriminasi langsung atau tidak langsung.
vi. Dan pertimbangkan apakah pembatasan tersebut sebanding dengan ancaman yang mungkin timbul dan apakah akan efektif untuk menganggulanginya.
Jika kita paham argumen yang sejalan dengan HAM yang seharusnya digunakan pengadilan, kita bisa menuntut hak kita dengan lebih efektif. Kita juga bisa berkontribusi lebih banyak pada debat publik tentang apakah pengadilan dan pemerintah telah benar memahami hal ini, atau mereka telah melanggar KBB.
End of Transcript
8. Pembatasan terhadap kebebasan beragama atau berkeyakinan
Banyak pemerintah membatasi kebebasan beragama atau berkeyakinan, tetapi bagaimana kita tahu kapan pembatasan tersebut dapat dibenarkan dan dibolehkan, dan kapan tidak boleh? Pembahasan yang mendalam terkait dengan aturan perjanjian Hak Asasi Manusia internasional yang mengharuskan pembuat kebijakan dan hakim untuk menggunakannya ketika mengimplementasikan kebebasan atas beragama atau berkeyakinan (KBB).